My Inspiration  

Posted by Wi2d

Kumpulan kata-kata bijak, karya Harun Yahya yang telah diterbitkan di berbagai media cetak di Turki dan di banyak negara di dunia.

Jauhilah dengki, karena dengki memakan amal kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
Nabi Muhammad SAW

Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang berakhlak paling mulia.
Nabi Muhammad SAW

Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar.
Khalifah ‘Umar

Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan.
Ibnu Mas’ud

Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
Khalifah ‘Ali

Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk.
Imam An Nawawi

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar.
Khalifah ‘Umar

Pengetahuan tidaklah cukup; kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup; kita harus melakukannya.
Johann Wolfgang von Goethe

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Johann Wolfgang von Goethe

Kearifan ditemukan hanya dalam kebenaran.
Johann Wolfgang von Goethe

Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang.
Einstein

Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat diraih dengan pengertian.
Einstein

Agama sejati adalah hidup yang sesungguhnya; hidup dengan seluruh jiwa seseorang, dengan seluruh kebaikan dan kebajikan seseorang.
Einstein

Dua hal yang membangkitkan ketakjuban saya - langit bertaburkan bintang di atas dan alam semesta yang penuh hikmah di dalamnya.
Einstein

Apa yang saya saksikan di Alam adalah sebuah tatanan agung yang tidak dapat kita pahami dengan sangat tidak menyeluruh, dan hal itu sudah semestinya menjadikan seseorang yang senantiasa berpikir dilingkupi perasaan “rendah hati.”
Einstein

Sungguh sedikit mereka yang melihat dengan mata mereka sendiri dan merasakan dengan hati mereka sendiri.
Einstein

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.
Einstein

Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung.
Einstein



Read More......

Energi yang Tak Pernah Habis  

Posted by Wi2d

Hidup sebagai sesuatu kadang seperti tulisan spanduk yang terikat di antara dua tiang. Hujan, panas, dan tangan-tangan usil bisa melunturkan keberadaan tulisan. Warna menjadi kabur, dan tulisan pun mulai luntur. Seperti itu pula mungkin ketika seseorang hidup sebagai muslim.
Tak ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang mukmin dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan Islam adalah di antara yang mesti mengulang. Waktu memberikan mereka peluang untuk bangkit di lain kesempatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah).” (HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu pada hal besar. Bisa jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada ujian tubuh yang rentan sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan kecil. Kadang ada, tapi kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa mutu seorang mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang sedikit menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridha dengan bagian yang diterimanya, maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya, maka Allah tidak akan memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada dunia nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain: gizi keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan sebagainya. Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit mengajak orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang berat. Kalau saja bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin hanya akan berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia akan berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu berat: masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup memang tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa itu yang kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang berbisnis pada usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang sebagian besar berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada kelompok seperti itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di sekitarnya. Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah swt. menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27. “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun, sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa, kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlan pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah, ‘Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka peluang bagi karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para pejuang Islam dari masa ke masa ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuat, Allah swt. Siang mereka seperti pendekar yang menggempur musuh dengan gagah berani. Tapi malam, mereka kerap menangis dalam hamparan sajadah karena hanyut dalam zikrullah. Hati mereka begitu terpaut dalam kasih sayang Allah swt.
Suatu kali Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu Mas’ud agak kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran, padahal ia datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu Mas’ud untuk membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga pada ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat. Sebuah kekuatan yang bisa memupus keraguan, kemalasan, dan rasa takut. Sebuah kekuatan yang bisa mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun. Termasuk, ujian kemiskinan



Read More......

Saatnya Memberi  

Posted by Wi2d

“Adalah Rasulullah saw. lebih pemurah dari semua orang. Terlebih di bulan Ramadhan, di mana Jibril sering mengunjungi beliau untuk tadarus Quran. Saat itu, Rasulullah saw. teramat sangat pemurah, melebihi angin yang terlepas.” (Bukhari Muslim, kesaksian Ibnu Abbas r.a.)
-
Biasanya, sebuah pemberian muncul setelah adanya ungkapan permintaan. Inilah kadar pemberian yang umum. Sebuah pemberian yang biasa terjadi di masyarakat kebanyakan.
Namun, akan beda nilainya jika pemberian justru lahir sama sekali tidak dari permintaan. Ia muncul sebagai perwujudan cinta yang digiring melalui kepekaan tinggi. Pemberian model ini, mungkin tergolong jarang. Tanpa diminta, pemberian sudah mendahului. Bahkan, sama sekali tak pernah terpikir oleh si peminta.
Itulah yang pernah terjadi di generasi para sahabat Rasul. Seorang sahabat Anshar pernah menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf. Bahkan, ia siap menceraikan salah seorang isterinya untuk kelak dinikahkan kepada Abdurrahman bin Auf.
Sepertinya si sahabat Anshar menangkap sesuatu yang kurang dari sahabatnya yang ‘terusir’ dari Madinah itu. Kasihan Abdurrahman, ia meninggalkan segala-galanya di Mekah demi menunaikan perintah Rasul untuk berhijrah. Begitulah mungkin yang sempat terpikir sahabat Anshar. Tanpa menunggu diminta, ia langsung menawarkan. Sayangnya, penawarannya yang tulus ditolak Abdurrahman. Sahabat Muhajirin ini tidak mau merepotkan tuan rumah. Ia cuma menanyakan letak pasar, agar bisa berdagang.
Dalam akhlak Islam, ada yang namanya ‘iffah: tidak meminta-minta walaupun butuh, demi menjaga kehormatan. Akhlak ini begitu mulia. Sayangnya, tidak banyak yang menyambutnya dengan sifat bersegera memberi, walaupun tidak meminta. Sifat ‘iffah tentu punya niat ikhlas mengharap balasan dari Allah. Alangkah indahnya ‘iffah jika disambut dengan itsar, memberi dengan nilai tertinggi. Seperti yang dicontohkan sahabat Anshar dan Abdurrahman bin Auf.
Pemberian terbalas dengan pemberian yang lebih berharga
Dalam keseharian, kerap Allah membuktikan janjiNya dengan cara sederhana. Sebuah pemberian yang tulus, akan terbalas dengan pemberian yang lebih bernilai. Bahkan berlipat kali.
Ketika kendaraan yang kita setir berpapasan dengan kendaraan lain, keikhlasan membimbing kita untuk memberi jalan. “Silakan!” ucapan itu spontan keluar melalui sebuah isyarat. Hinakah kita karena mempersilakan orang lain jalan lebih dulu? Justru, sebaliknya. Pengendara lain serta-merta mengangkat tangan, tanda penghormatan yang juga spontan.
Juga, hinakah kita ketika terlebih dulu memberi salam kepada saudara kita. Justru, yang kita dapatkan lebih baik dari yang kita beri. Bukan sekadar jawaban salam yang menyambut, senyum dan lambaian tangan pun melengkapi.
Begitu pun nilai sebuah pemberian di sisi Allah swt. Infak yang keluar dari kantong seorang mukmin, diumpamakan seperti benih. Dari benih itu menjadi pohon kebaikan yang tumbuh besar dan akhirnya berbuah.
Maha Benar Allah swt. dalam firman-Nya di surah Al-Baqarah ayat 261, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Tanpa meminta pun, manusia selalu meminta
Kehidupan manusia tak pernah luput dari yang namanya meminta. Sadar atau tidak, kita membutuhkan orang lain untuk memberi sesuatu yang kita butuhkan. Begitulah kehidupan bergulir.
Sejak lahir, seorang anak manusia meminta banyak dari ibunya. Mulai dari makanan, minuman, perlindungan, dan belaian kasih sayang. Ungkapan memintanya pun tidak mengenakkan: menangis. Itulah bahasa meminta pertama manusia.
Mungkin, inilah tabiat dasar manusia: selalu meminta. Mulai lahir, masa anak-anak, dewasa, dan akhirnya tua. Lagi-lagi, manusia meminta. Bahkan di akhir hayat pun tangis mengungkapkan bahasa asalnya ketika lahir: meminta. Manusia menangis karena merasa tidak mampu mengurus dirinya sendiri, menjaga isteri, dan membiayai anak-anak. Ia menangis sebagai ungkapan meminta ke orang lain.
Kalau suasana alami saja manusia sudah sering meminta, kenapa harus dibiasakan untuk meminta secara sengaja. Meminta dan meminta.
Kikir tak pernah menguntungkan
Logika sederhana kerap mengatakan, semakin kecil pengeluaran akan memperbesar pemasukan. Kian jarang memberi, simpanan semakin mapan. Itulah mungkin bimbingan nalar yang menjadikan orang enggan memberi.
Benarkah seperti itu? Dari hitungan materi, mungkin nalar itu benar. Tapi, bukankah kehidupan tidak melulu materi. Bukankah kebahagian, kesedihan, dan kekecewaan kadang tidak berhubungan dengan materi. Ada bagian lain dalam diri manusia yang tidak bisa disentuh materi. Itulah kepuasan hati. Tak satu harga pun yang bisa membeli kepuasan hati. Jutaan, bahkan milyaran rupiah terbuang percuma karena kepuasan hati tak kunjung datang.
Bersyukurlah mereka yang Allah cabut dalam hatinya rasa kikir. Setiap kali ia memberi, saat itu juga ada kepuasan terlahir. Puas dan bahagia bisa meringankan beban orang lain. Puas menatap senyum orang-orang yang membutuhkan.
Allah swt. berfirman, “…Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)



Read More......

Intel Asing vs Intel Indonesia  

Posted by Wi2d

Ditengah carut marutnya wajah lembaga intelijen kita, masih ada satu hal yang membuat kita bangga. Ternyata dalam hal menerapkan kerahasiaan dalam tugas, intelijen Indonesia-lah yang menerapkannya pada level yang paling ketat.Di Inggris, agen MI6 biro yang satu tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh agen MI6 dari biro lainnya.

Di Israel, agen Mossad satgas yang satu tidak mengetahui apa yang dikerjakan rekannya dari satgas lain.

Di Amrik, agen CIA bahkan tidak tahu apa yang dikerjakan sesama agen di sebelahnya.

Tapi itu belum apa-apa dibanding agen indonesia. Di sini seorang intel tidak tahu apa yang dia kerjakan.


Read More......

Presiden Muda?  

Posted by Wi2d


Ditulis Oleh Bambang N

Kini semakin banyak muncul calon presiden di republik ini. Rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kalau menurut ukuran Komite Nasional Pemuda Indonesia, usia itu termasuk tua. Pemuda di Indonesia dibatasi hanya 40 tahun, kecuali mungkin di negara-negara Afrika. Di sejumlah negara lain, usianya malah di bawah 40 tahun. Secara sederhana, apabila usia pemuda di KNPI tidak diturunkan, kepemimpinan kaum muda tetap macet di tampuk organisasi kepemudaan sendiri.
Namun, kalau bicara para tokoh di atas 60 tahun, dibandingkan dengan yang berusia 40-50 tahunan, tentulah terasa sekali betapa mereka jauh lebih tua. Terdapat kemacetan dalam peralihan usia kalangan pemimpin kita. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan usia harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan zaman kemerdekaan. Selain itu, tentu terkait dengan terlalu-lamanya Soekarno dan Soeharto menduduki kursi presiden.

Kini, Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, Soetrisno Bachir, Yusril Ihza Mahendra, Ratna Sarumpaet, dan sejumlah tokoh lain menyatakan kesediaan untuk maju sebagai calon presiden. Ada yang secara terbuka menyatakan kesediaan, ada juga yang hanya memasang iklan dan menebarkan pengaruh di mana-mana. Kalau ukuran mereka adalah generasi baru, barangkali tergantung kriterianya. Fadjroel dan Rizal adalah aktivis mahasiswa angkatan 1980-an, sementara Soetrisno dan Yusril lebih lama. Ratna terkenal sebagai sosok yang keras di dunia pergerakan dan kesenian.

Namun, apakah mereka sudah bisa dikategorikan sebagai presiden kaum muda? Artinya presiden Republik Indonesia yang merepresentasikan kaum muda? Saya harus berpikir panjang menyangkut penggunaan istilah ini. Kalau hanya sebagai presiden bagi kaum muda, masing-masing sudah menunjukkan kemampuan dalam memimpin organisasi kemahasiswaan, intelektual, kesenian, atau pergerakan. Hanya, kalau yang dijadikan sebagai ukuran utama adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu persoalan menjadi lain.

Semua warga negara Indonesia yang memenuhi kriteria Undang-Undang Pemilihan Presiden nanti tentu bisa menjadi bakal calon presiden dan calon wakil presiden, tapi tidak semuanya akan lolos. Persyaratan-persyaratan teknis, politis, dan substantif harus dipenuhi. Yang pertama sekali adalah diusung oleh partai politik, karena ketentuan calon presiden/calon wakil presiden perseorangan belum dipenuhi oleh undang-undang. Supaya kita tidak terjebak hanya dengan uji popularitas saja, selayaknya para kandidat yang muncul terlebih dulu harus mendekati partai-partai politik pengusung.

Maka, diskusi sekarang hanya bisa dibatasi dengan kriteria kompetensi yang dimiliki oleh para tokoh yang muncul. Kompetensi itu terkait dengan keberadaan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Kemampuan lain adalah mengepalai para menteri di kabinet, para duta besar di negara lain, serta para gubernur yang kian otonom. Kemampuan menggerakkan orang lain demi tujuan-tujuan negara dan pemerintahan inilah yang diperlukan, bukan bagaimana tampil sendirian, keras kepala, demi ambisi-ambisi perseorangan.

Selain itu, dengan sistem multipartai yang dianut di Indonesia dan kemungkinan kecil menghadirkan satu partai mayoritas di parlemen, diperlukan kemampuan sebagai politikus andal. Seorang presiden tidak hanya berhadapan dengan tekanan publik yang kuat, tapi juga intervensi dari partai-partai politik yang memiliki kepentingan di parlemen. Belum lagi kalau ada koalisi partai politik pendukung yang masing-masing ingin menaruh para menteri di kabinet. Presiden, selain menjadi kepala negara dan pemerintahan, pada galibnya juga pemimpin informal dan/atau formal dari partai-partai politik yang berbeda aliran, ideologi, program, dan konstituen.

Semangat independensi yang kuat yang diperlihatkan oleh Fadjroel, Rizal, dan Ratna tentu akan menyulitkan mereka dalam berhubungan dengan parpol. Apalagi parpol sekarang semakin banyak dikendalikan oleh orang-orang pintar dan memiliki uang. Parpol tidak lagi menggantungkan sumber pendanaan kepada satu atau dua orang, melainkan kian terlatih menciptakan sumber-sumber pendapatan yang dikelola oleh orang-orang parpol. Juga semakin banyak kalangan berpunya yang masuk parpol, terutama akibat semakin tingginya ongkos politik yang harus dikeluarkan.

Artinya, politikus di parpol juga semakin independen. Jadi, apabila independensi adalah sebuah sikap, lalu mengejawantah dalam aturan birokrasi parpol, itu sudah ditunjukkan oleh kalangan di parpol. Apabila tujuan kekuasaan hanya mengarah kepada kursi dan jabatan presiden semata, sembari memberikan pendidikan politik kepada rakyat, sudah tentu kontribusi bagi calon independen ini menjadi maksimal.
Bagi Soetrisno, persoalannya menjadi lain, ketika ia mampu menunjukkan perbaikan kinerja sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Grafik kemenangan PAN dalam pemilihan kepala daerah terus meningkat. Soetrisno telah mencuat sebagai manajer politik yang semakin berpengalaman. Ia sebetulnya ada dalam jalur yang tepat untuk menjadi presiden. Begitu pula Yusril. Pertanyaan terpenting buat Yusril hanya satu: apakah Yusril akan memilih para pembantu sepintar dirinya ketika menjadi presiden? Apakah pembantu itu yang lebih berpengaruh darinya atau hanya masuk kategori pekerja? Mengapa? Karena Yusril berada dalam lingkaran kekuasaan dalam waktu lama. Karena ia bekerja di seputar presiden, ia merasa juga mampu menjadi presiden secara lebih baik.

Lalu, siapa yang bisa dikategorikan sebagai presiden kaum muda? Saya merasa lebih kepada kemampuan presiden tersebut dalam menjalankan agenda-agenda regenerasi dengan baik dan terukur, bukan dalam arti usia sang presiden. Teramat naif kalau kursi kepresidenan diukur dari usia. Mengaitkan usia tua dengan pengalaman panjang juga ukuran yang keliru, karena tantangan-tantangan setiap pemerintahan berbeda. Ketika seorang presiden hadir dalam keadaan perang, tidak bisa presiden berikutnya juga berpengalaman tempur. Justru yang diperlukan adalah presiden di masa damai.
Yang juga amat diperlukan adalah kolaborasi kalangan muda ini dalam menentukan agenda-agenda nasional. Ini yang belum terjadi. Tidak banyak yang memiliki waktu untuk berkumpul merumuskan agenda-agenda bersama, lalu mendesakkannya sebagai ajang bagi perubahan pengambilan keputusan politik. Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kaum muda tidak membawa ego masing-masing.

b_ge84@yahoo.co.id


Read More......